520
|
#
|
#
|
$a Matinya Rating Televisi Tidak ada yang tidak melihat televisi. Demikian pendapat kami. Kotak-kotak televisi itu, baik yang berukuran kecil sampai yang raksasa, telah menyelinap masuk kemana saja, tak peduli apakah itu ruang pribadi, ruang keluarga, ruang publik, desa, atau kota. Ragam tontonan menyeruak dari kotak televisi itu, menyemburkan budaya-budaya yang membuat sejumlah orang riang gembira dan murung durjana. Maklum, negeri ini memang tidak memiliki basis budaya yang kuat mengakar di benak setiap orang. Ada yang mengidentifikasikan diri sebagai orang Arab (maksudnya Islam), sebagai orang Timur (Cina atau Jepang, barangkali), sebagai penjaga moralitas etnis masing-masing (Jawa, Batak, Madura, Bugis, dan lain-lain), atau sebagai orang Barat (karena merasa sudah menggunakan tutur kata serta atribut-atribut yang biasa digunakan orang-orang Barat). Berbeda-bedanya kiblat kebudayaan ini kemudian menjadikan televisi sebagai ajang pameran tarik menarik dari nilai-nilai yang berseteru. Para pengelola stasiun yang meyakini bahwa karakter orang Indonesia mirip dengan orang Amerika Latin atau India, misalnya, lantas menempatkan segudang ragam tontonan dari telenovela dan film-film India. Televisi di Indonesia memang bercita rasa gado-gado. Apapun yang memungkinkan akan ditayangkan. Terdengar asal memang. Tapi begitulah yang terasa, yang penting cepat. Lihat saja program-program informasi. Mereka merasa tidak perlu taat pada azaz jurnalisme. Contohnya, banyak program berita yang merasa tidak harus memikirkan apakah dirinya sedang melakukan trial by the press tatkala meliput suatu aksi penggerebekan polisi pada suatu kasus. Atau tidak risih ketika ketika menggunakan istilah yang paling terhormat dalam jurnalisme, yaitu investigasi, pada program beritanya yang hanya `selewat` (dengan isi yang masih bersifat news). Keadaan menjadi sulit ketika hidangan yang beraneka macam ini harus berhadapan dengan persoalan kapan suatu program harus ditayangkan. Namun, pada penempatan tersebut mereka tidak lagi bersikap asal-asalan. Ada suatu desain penelitian besar yang menjadi titik acu para pengelola stasiun televisi. Dan kelak, desain itu juga menjadi payung bagi datangnya hujan kritik yang kian menggencar. Desain penelitian itu bernama pengukuran khalayak televisi, yang merupakan terjemahan dari Television Audience Measurement (TAM). Teknik pengukuran ini telah memiliki sejarah jatuh bangun yang cukup panjang. Bermula dari pengukuran alat hingga ke pengukuran manusia. Dan secara lebih prinsipil, teknik ini berangkat dari materialisme-positivistik, suatu filsafat radikal yang cikal bakalnya dibangun oleh Demokritos 460-370 SM), disempurnakan oleh Sir Isaac Newton, disebarluaskan oleh Auguste Comte (1798-1857), dan dikeraskan oleh Karl Marx (1818-1883) ke seluruh pemahaman atas perkembangan masyarakat. 300 tahun lebih pemahaman positivistik ini telah menguasai kepala kalangan masyarakat terpelajar kebanyakan. Dalam gerakan sosial, misalnya, ia menjelma sebagai sebuah kekuatan yang keras. Mereka yang mengaku Kiri adalah penganut paham ini. Dalam ranah pendidikan, metode kuantitatif masih begitu berjaya, menguasai hampir seluruh penelitian skripsi, tesis, dan disertasi. Dan dalam ladang bisnis pertelevisian (dengan nominal yang menggiurkan), ia mewujud dalam rating, yang berupaya mengungkap siapa menonton apa pada waktu kapan. Posisi rating dalam kebijakan stasiun televisi ini begitu kuat. la nyaris seperti sebuah kutukan dewa yang tak terhindarkan. Angka-angkanya adalah sabda yang harus dipatuhi dalam perayaan ritual industri media. la menjadi ukuran bagi keberhasilan atau gengsi, kebahagiaan atau kesengsaraan, termasuk juga penentu kelanjutan hidup. Tapi siapa dewanya? Ada. Ia seperti Tuhan dalam konsepsi teologi Deisme, yang memosisikan diri seperti dalam clock maker theory, dimana setelah menciptakan arloji, ia terputus begitu saja dari hasil karyanya. Meski tahu dan sadar bahwa hasil ratingnya, melalui berbagai proses pengartian, kelak menjadi semacam perintah bagi stasiun televisi, mereka bersikeras bahwa penelitiannya objektif, dan bukan berdasarkan suka atau tidak suka. Jadi, jika ada kritik terhadap tayangan dan waktu tayangnya, itu bukan urusan si dewa. Itu urusan hambanya, stasiun televisi. Dan tentu saja, seperti yang sudah diduga, kritik mengenai tayangan menjadi hanya tertuju pada program yang ditayangkan berikut stasiun televisinya. Diskursus mengenai kelayakan tayangan televisi menjadi sebuah debat kusir. Dalam menuliskan buku ini, kami berada dalam rentang waktu 2003 hingga 2004 awal. Jadi mungkin ada beberapa data atau jabatan dari seseorang yang sudah tidak pada tempatnya lagi. Kami mohon maaf jika itu mengganggu. Tapi kami yakin itu tidak mengganggu apa-apa secara prinsipil. Lalu, dalam pendekatannya kami menggunakan apa yang disebut theoritical triangulation atau investigator triangulation. Maksudnya, kami mencoba melihat operasional rating dengan cara mengelilinginya dengan berbagai kacamata konsep, perspektif, teori, dan disiplin. Mungkin ini lebih mengarah pada apa yang juga disebut oleh Paul Feyerabend, seorang filosof ilmu pengetahuan, sebagai antimetode. Namun demikian, dengan mengikuti Yasraf Amir Piliang dalam buku Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna (2003), apa yang kami lakukan bukannya tanpa metode sama sekali, melainkan hanya tidak mengikuti metode yang disepakati oleh sebuah komunitas keilmuan. Dan masalah seseorang melakukan langkah, prosedur taktik, strategi tertentu dalam meneliti atau berkarya - apapun bentuknya - tetap bisa untuk disebut sebuah metode. Dalam hal ini, kata Yasraf, meneliti atau berkarya tanpa memikirkan metode itu sendiri adalah suatu metode. Sementara itu, dalam penentuan siapa yang menjadi interviewee, kami mengikuti apa yang disebut snow-ball sampling. Snow-ball sampling, seperti kata Profesor Deddy Mulyana dalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif (2001), adalah menemukan seseorang yang kami anggap potensial clan memiliki kompetensi sebagai interviewee, yang selanjutnya dari orang tersebut muncul sejumlah nama yang kiranya relevan untuk diwawancarai. Pemilihan ini berhenti ketika data telah menjadi jenuh, yang berarti kami tidak lagi menemukan aspek baru dari fenomena yang diteliti. Pendekatan snow-ball sampling ini berkebalikan dengan probability sampling atau quota sampling, dimana penentuan interviewee dianggap sebagai representasi atau perwakilan dari kategori-kategori yang berbeda. Penentuan ini, seperti kata Kris Budiman dalam buku Di Depan Kotak Ajaib (2002), lebih didasarkan pada pertimbangan opportunity to learn yang secara potensial mungkin untuk didapatkan. Potensi ini merupakan kriteria terpenting dalam memilih siapa yang akan menjadi interviewee. Dengan demikian, soal keterwakilan (representativeness) sama sekali tidak menjadi beban kami.
|