520
|
#
|
#
|
$a SISTEM PERLADANGAN DI INDONESIA(SUATU STUDI- KASUS DARI KALIMANTAN BARAT)Buku ini bertujuan untuk mempelajari tentang ekologi dan ekonomi perladangan (peladangan). Studi ini penting karena dua alasan. Pertanra-tama, peladangan melibatkan sejumlah besar orang dan areal tanah yang luas. Pada tahun 1955, Organisasi Pangan dan Pertanian (Food Agricultural Organization) PBB, memperkirakan bahwa sepersepuluh penduduk dunia sekarang sedang mengerjakan peladangan di, atas sepertiga jumlah keseluruhan tanah yang dapat ditanami di bumi. Pada tahun 1966, J.F. Spencer (dalam bukunya Shifting Cultiuation in Southeastern Asio) memperkirakan bahwa di Indonesia saja, hampir empat juta keluarga terlibat dalam kegiatan peladangan, dengan luas tanah keseluruhan sekitar 85 juta hektar. Baru-baru ini diperkirakan hampir 20 juta orang Indonesia melaksanakan pekerjaan ladang. Jumlah ini mengungkapkan dua hal. Pertama, kesejahteraan sebagian besar penduduk Indonesia terikat pada kegiatan peladangan ke dua, pendayagunaan serta perlindungan terhadap sebagian besar sumber daya alam negara (yaitu tanah dan hutan), juga terikat pada kegiatan ini. Karena itu, jika kita tidak mengenal sistem peladangan, kita tidak akan bisa mengenal sebagian besar penduduk dan sumber daya di Indonesia. Hanya dengan mempelajari sistem ini kita dapat menempatkan bangsa dan sumber daya dalam jangkauan perencanaan dan pembangunan nasional. Dengan mendalami sistem peladangan kita akan mampu merobah sistem tersebut, dan mengembangkannya kepada suatu sistem pertanian yang lebih intensif, dengan hasil yang lebih intensif, dengan hasil yang lebih tinggi untuk setiap hektarnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa studi mengenal peladangan itu tetap penting namun patut dipertanyakan mengapa para antropolog harus pula dilibatkan ! dalam studi ini. Sebaliknya, telah diketahui bahwa sistem peladangan sangat erat hubungannya dengan kebudayaan bangsa yang mempraktekkannya. Oleh karena itu, seringkali perlu dipelajari terlebih dahulu, struktur sosial, keyakinan keagamaan dan lain-lain dari suatu bangsa, sebelum kita dapat memahami sistem peladangan mereka. Di pihak lain, kebudayaan juga bertalian dengan praktek bentuk- bentuk pertanian yang lebih intensif dan benar-benar moderen, termasuk sawah kenyataan tersebut akhir-akhir ini menjadi jelas ketika para sarjana berusaha menganalisis faktor- faktor apa yang telah menggagalkan `Revolusi Hijau`. Pada umumnya suatu kegagalan dihubungkan dengan kenyataan bahwa faktor-faktor kebudayaan tidak diperhitungkan selama proses perencanaan dan pembangunan sistem pertanian yang baru. Karena itu, saya akan membuktikan bahwa antropologi memberikan sumbangannya pula bagi suatu studi mengenai sistem pertanian dan juga tentu saja bagi studi mengenai sistem perekonomian. By-Epy
|