520
|
#
|
#
|
$a Bapak Manai Sophiaan, Prof Mahar Mardjono, sejarawan onghokham-adalah sekadar contoh saja dari tokoh-tokoh yang keseharannya sesungguhnya kurang mengizinkan tetapi tetap dengan senang hati serta menuturkan serta menuliskan pandangan dan pengalamannya. Bagi tokoh yang sudah meninggal, putra-putrinya ternyata tidak kalah bersemangarnya menuliskan pengalaman orang ruanya disertai pengalamannya sendiri tentang Bung Karno . Dr. Meutia Hatta sruasono putri Bung Hatta dari tulisannya tampak dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, mencerminkan betapa dekat serta erat sesungguhnya hubungan pribadi dwitunggal Bapak Bangsa kita ini. Juga putri almarhum/jenderal KKO Hartono Nurani C h andrawati yang menyumbangkan pandangan-pandangannya sebagai ahli ilmu politik. Kendala lainnya yang cukup dirasakan adalah situasi dan kondisi politik tanah air sepanjang tahun makin hari makin naik suhunyaberkaitan dengan memorandum I dan II DPRdan kemungkinan sidang Istimewa MPR. Dampaknya, sejumlah narasumber rerurama para tokoh pejabat pemerintah, politisi, pakar-pengamat, menjadi sangat sibuk. Namun, patut dihargai bahwa sebagian besar tokoh ini tetap tidak kurang perhatian serta kesediaannya menuliskan pandangan serta pengalaman-nya arau menuturkannya kepada tim wawancara. Tokoh publik dan pejabat tinggi negara seperti Ketua MPR Amien Rais, Ketua DPR Akbar Tanjung, Ketua DPA Achmad Tirtosudiro, Menko Polsoskam Susilo Bambang Yudhoyono, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Wakil Ketua DPR Sutardjo Surjoguritno, dan sejumlah elite politiklainnya memberikan sambutan yang baik dan perhatian khusus. Bahkan di antara puncak-puncak kesibukannya Menko Polsoskam Susilo Bambang Yudhoyono dan Sultan Hamengku Buwono X sebagai contoh, secara khusus masih bersedia menyediakan waktu sebagai pembicatalkqtnzte speaker pada seminar-seminar yang diselenggarakan dalam rangka peringatan 100 tahun Bung Karno. Tetapi tentu sangat bisa dimaklumi mengingat kesibukan serta beban luar biasayang sedang dihadapi Presiden Abdurrahman wahid di sampai saat deadlinebelum bisa memberikan kata sambutan. Demikian pula dari kalangan intelektual akademik tak kurang-kurang perhatiannya menelaah kembali (secara kritis) Soekarno dalam wacana akademik melalui tulisan maupun pembahasan dalam seminar. Tampilnya tokoh-tokoh seperti intelektual budayawan Prof. Nurcholis Madjid, empu sejarawan Prof. Sartono Kartodirdjo, sejarawan Prof Thufik Abdullah, ekonom Prof. Sri Edi Swasono, Prof. Dawam Rahardjo, Prof, Sritua Ariel ahli filsafat Prof. Kunto/Tibisono, ahli hukum Tata Negara Prof. Sri Soemantri, Prof. Haroen Al Rasyid, Prof. Suwoto Muljosudarmo, para pakar pendidikan Prof. w inarno surakhmad, Prof. Fuad Hassan, ahli ilmu politik Dr. Burhan D. Magenda, hingga yang muda-muda seperti Cornelis Lay, Mulyana. M Kusumah, dan lain-lainnya, itu memberikan jaminan bahwa pemikiran Soekarno bukan sekadar demagogi atau kumpulan slogan seperti pandangan sementara orang (terutama selama Orde Baru) tetapi memang merupakan pemikiran yang secara konseptual bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah-akademik. Oleh karena itu, amat layak ditempatkan sebagai salah satu referensi utama dalam wacana sejarah pemikiran modern di Indonesia. Tentu saja tak ketinggalan tokoh-tokoh yang dikenal sebagai Soekarnois atau Marhaenis seperti Dr. H. Ruslan Abdulgani (Pak Ruslan), Ibu Supeni, dan Abdul Madjid. Dari kalangan seniman-budayawan di samping para empu seperti penyair Sitor Situmorang, sastrawan PramudyaA. Toer, juga yang muda sutradara beken Garin Nugroho, dan last but not least Stkmawati Soekarno Putri yang menyumbangkan dua buah puisi karyanya. Penyair LK Ara di samping menyumbang sebuah puisi karyanya sendiri juga menyerahkan sebuah puisi karya almarhum Ali Hasjmi, tokoh serta mantan Gubernur /Ketua MUI Daerah Istimewa Aceh. Dari kalangan generasi muda, Anas Urbaningrum (anggota KPU/mantan Ketua Umum HMI), Ali Masjkur Musa (Anggota DPR/mantan Ketua Umum PMII), Budiman Sudjatmiko (Ketua Umum PRD), beserta pimpinan ormas-ormas mahasiswa melengkapi spektrum generasi buku ini, tetapi yang tidak kalah menarik adalah kenangan-kenangan pribadi yang memang langsung dialami para penulis. Contohnya apa yang dituturkan para artis yang pernah dekat dengan Bung Karno, Kris Biantoro, Titiek Puspa, dan Rima Melati menunjukkan sisi-sisi yang sangat manusiawi dan sense of humor yang tinggi dari sosok Bung Karno. Juga kenangan seorang anak kecil yang rumahnya di sebelah tembok istana dan sering menerobos pagar istana yang `dibiarkan` rusak unruk main bola di halaman tengah Istana Negara (dan sekali-sekali Bung Karno ikut nimbrung). Anak kecil itu tidak lain Arrizal Effendi yang kemudian melanglang buana sebagai diplomat dan sekarang menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri-sampai pada suatu kesimpulan bahwa yang membuat Bung Karno dekat dengan rakyatnya bahkan dengan rakyat di seluruh dunia adalah karena Bung Karno tidak pernah membuat pagar pemisah antara dirinya sebagai pemimpin dengan rakyatnya. Istananya dibiarkan terbuka bagi rakyat di sekitarnya. Sisi ini yang patur diteladani para pemimpin masa kini. Olahragawan Ferry Sonneville dan Sarengat mengingatkan bahwa Bung Karno merupakan pendorong semangat tercapainya prestasi di bidang olahraga yang mengharumkan nama Indonesia. Catatan dari Bengkulu oleh Ali Hanafiah dan riwayat tentang pesawat terbang Seulatuah sumbangan rakyat Aceh untuk Republik Indonesia oleh Ali Hasjim memang tak bisa dilepaskan dari Bung Karno. Juga barangkali banyak yang berum tahu bahwa perancang Garuda Pancasila adalah sultan Hamid II dari pontianak dituturkan sekretaris pribadinya Max yusuf Alkadrie.Pada bab sambutan yang cukup menggembirakan adalah sekalipun dalam waktu yang terbatas sejumlah negara bersedia memberikan kata sambutannya. Selain presiden Rusia Madilir putin, para pemimpin negara-negara sahabat itu memang saling mengenal dengan baik bung Karno. sedikitnya jumlah sambutan dari luar negeri dibandingkan dengan besar serta luasnya pengenalan dan pengarang di dunia internasional bisa dimengerti mengingat soal-soal prosedur birokrasi dan aturan-aturan protokol diplomatik yang tidak sederhana dan memerlukan waktu yang tidak sedikit. Di samping itu, kenyataan bahwa di sebagian besar negara sahabat telah terjadi pemerintahan dan suasana politik sehingga bisa dimengerti lika para pemimpin baru di negara-negara itu kurang mengenal Bung Karno dengan baik. Tetapi di luar kendala waktu umumnya ,seluruh perwakilan negara-negara sahabat yang ada di Jakarta memberikan respons yang sangar baik bahkan sejumlah kedutaan menyumbangkan, foto-foto para pengunjung Presiden Soekarno ke negaranya.(libra)
|
520
|
#
|
#
|
$a BUNG KARNO. BAPAKKU, GURUKU, SAHABATKU, PEMIMPINKU Ketika kita mulai kerja menghimpun sumbangan pemikiran berupa tulisan yang akan mengisi buku kenangan 100 tahun Bung Karno, yang pertama adalah menempatkan Dr. Ir. Soekarno atau Bung Karno pada perspektif sejarah bangsa sebagai Pemimpin Pejuang Kemerdekaan, Proklamator Kemerdekaan, Penggali Pancasila, Bapak Bangsa, Pelopor Solidaritas Asia-Afrika clan Non-Blok, Penggagas Tata Dunia Baru, dan seterusnya. Konsekuensi dari sikap dasar ini pada tahap paling awal sudah memunculkan sejumlah masalah. Masalah pertama muncul ketika daftar nama tokoh dalam dan luar negeri yang dipandang layak diminta sumbangan pikirannya menjadi sangat panjang. Daftar itu setiap saat terus bertambah dengan masukan dari berbagai pihak yang secara spontan clan antusias mendukung rencana penerbitan buku ini. Dan lagi siapa yang tidak mengenal Soekarno atau Bung Karno di negeri ini bahkan di negeri seberang sana ? Juga pada sisi lain Bung Karno sebagai manusia biasa. Sebagai suami, sahabat, guru, bagi begitu banyak orang dari segala lapisan, aliran, bangsa, kawan, maupun lawan, bukan hanya di negeri sendiri melainkan juga di seluruh pelosok dunia yang pernah dijelajahinya. Ini disebabkan sikap dasar moralitas Bung Karno yang tidak pernah memandang sesama manusia sebagai lawan, memusuhi apalagi membencinya. Bung Karno memusuhi kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme sebagai suaruprinsip atau sistem yang dipandangnya telah menjadi sebab timbulnya kesengsaraan serta kejahatan kemanusiaan di seluruh dunia, karena pada asasnya roh daripada sistem itu adalahpengisapan manusia atas manusia. Contohnya, sekalipun Eropa, Amerika, Jepang merupakan negeri-negeri asal usul kapitalisme dan kolonialisme/ imperialisme, Bung Karno tidak pernah punya pikiran atau sikap memusuhi atau memberi orang Barat maupun orang Jepang sebagai sesama manusia. Kesaksian Romo Magnis (Dr. Franz Magnis Suseno) dalam buku ini tak perru diragukan. Sayangnya, tidak seluruh saksi sejarah yang mengenal baik Bung Karno dari berbagai sisi kehidupannya bisa memberikan kesaksian pada saat ini. Inilah masalah kedua yang menjadi salah satu kekurangan atau kelemahan buku ini. Kekurangan yang di luar kemampuan Tim Editor untuk mengatasinya, melalui kenyataan alamiah yang tak terelakkan bahwa generasi yang secara pribadi mengenal baik atau mengaiami hidup satu zaman dengan Bung Karno sehingga bisa menjadi saksi sejarah yang otentik jumlahnya (yang masih hidup) ibaratnya masih bisa dihitung dengan jari. Dari yang amar sedikit itu sebagian besar usianya sudah lanjut dan kondisi kesehatannya (termasuk daya ingatnya) umumnya tidak memungkinkan untuk menururkan apalagi menuliskan secara baik pandangan atau pengalaman hidupnya yangberkaitan dengan Bung Karno. Tetapi yang mengharukan dan mengagumkan adalah keinginan serta semangatnya yang besar ketika diminta kontribusi menuturkanpengalaman pribadinya renrang Bung Karno. Menanggapi semangat yang tulus dan jujur seperti itu, kami membentuk tim Pewawancara untuk membantu menggali serta merekam pengalaman dari generasi seutuhnya ini. Ditambah lagi dengan sejumlah referensi dan dokumentasi akhirnya kami bisa menghadirkan pengalaman dari para sahabat dan teman seperjuangan Bung Karno ini peran serta dukungan anggota keluarga sangat membantu serta mempermudah tugas ini. Misalnya Ibu Djenab sartono-janda almarhum Mr. Sarrono bahkan proaktif menghubungi tim editor sekalipun usianya 88 tahun
|