Cite This        Tampung        Export Record
Judul Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidikanak Sukses Masa Depan : Pandai Dan Bermanfaat)
Pengarang Azizy, A.qodri A
Penerbitan Semarang : Aneka Ilmu, 2003
Deskripsi Fisik 182 hlm. ;21 cm.
Subjek Islam
Etika Sosial
Abstrak PENDIDIKAN (AGAMA) UNTUK MEMBANGUN ETIKA SOSIAL Buku ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama berjudul PENDIDIKAN, VISI UNESCO, DAN NILAI-NILAI ISLAM. Bagian ini diawali (sebagai bab satu) dengan judul Pendidikan Digugat (sebelum direvisi, artikel pendek ini pernah dimuat di rubrik Latar harian Jawa Pos). Kenyataan adanya tawur pelajar dan bentrok masyarakat, salah satu introspeksi kita adalah menilik kembali pendidikan kita. Tanpa sejauh pertanyaan tentang kenyataan sosial sebagai salah satu produk pendidikan, namun kenyataan di lapangan tersebut tidak dapat dipisahkan begitu saja dari praktek pendidikan kita di masa silam sampai dengan masa kini. Sudah barang tentu, ketika kita menyebut pendidikan, maka pendidikan agama termasuk di dalamnya danjustru perlu mendapatkan garis bawah. Berangkat dari kenyataan negatif yang dipraktekkan oleh masyarakat kita itulah, maka pendidikan kita perlu dikaji ulang. Langkah berikutnya adalah menganalisis secara kritis mengapa pendidikan kita seperti itu ? Dengan bebera
Bahasa Indonesia
Bentuk Karya Bukan fiksi atau tidak didefinisikan
Target Pembaca Umum

 
No Barcode No. Panggil Akses Lokasi Ketersediaan
017215 AZI p Dapat dipinjam DISPUSARDA Kota Metro - Ruang Koleksi Umum Tersedia
pesan
017216 AZI p Dapat dipinjam DISPUSARDA Kota Metro - Ruang Koleksi Umum Tersedia
pesan
Tag Ind1 Ind2 Isi
001 INLIS000000000000099
005 20230105094231
008 230105################g##########0#ind##
035 # # $a 0010-0521000099
082 # # $a 297.5
084 # # $a 297.5 AZI p
100 1 # $a Azizy, A.qodri A
245 1 # $a Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidikanak Sukses Masa Depan : Pandai Dan Bermanfaat)
260 # # $a Semarang :$b Aneka Ilmu,$c 2003
300 # # $a 182 hlm. ; $c 21 cm.
520 # # $a PENDIDIKAN (AGAMA) UNTUK MEMBANGUN ETIKA SOSIAL Buku ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama berjudul PENDIDIKAN, VISI UNESCO, DAN NILAI-NILAI ISLAM. Bagian ini diawali (sebagai bab satu) dengan judul Pendidikan Digugat (sebelum direvisi, artikel pendek ini pernah dimuat di rubrik Latar harian Jawa Pos). Kenyataan adanya tawur pelajar dan bentrok masyarakat, salah satu introspeksi kita adalah menilik kembali pendidikan kita. Tanpa sejauh pertanyaan tentang kenyataan sosial sebagai salah satu produk pendidikan, namun kenyataan di lapangan tersebut tidak dapat dipisahkan begitu saja dari praktek pendidikan kita di masa silam sampai dengan masa kini. Sudah barang tentu, ketika kita menyebut pendidikan, maka pendidikan agama termasuk di dalamnya danjustru perlu mendapatkan garis bawah. Berangkat dari kenyataan negatif yang dipraktekkan oleh masyarakat kita itulah, maka pendidikan kita perlu dikaji ulang. Langkah berikutnya adalah menganalisis secara kritis mengapa pendidikan kita seperti itu ? Dengan beberapa kekurangan, maka diperlukan reformasi pendidikan, sebagai bab berikutnya. Bab dua berjudul Reformasi Pendidikan dan Reorientasi Pendidikan Islam . Dalam bab ini saya uraikan kelemahan-kelemahan sistem pendidikan kita yang berjalan selama beberapa dekade, yang saya kutip dari ahlinya dengan penambahan dari analisis saya sendiri. Dengan adanya beberapa kelemahan itulah maka diperlukan reformasi. Ketika kita membicarakan reformasi pendidikan, kita perlu menegaskan kembali makna pendidikan dan sekaligus pendidikan Islam. Di sinilah kita perlu mengaitkan dengan etika sosial. Sebab, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pembentukan character dan akhlak atau etika yang mulia. Dari pembentukan kepribadian atau etikaindividual itulah, kemudian dalam prakteknya akan terwujud etika sosial. Dan selama ini, menurut hemat saya, orientasi pendidikan kita kepada etika sosial sangat lemah termasuk ketika para guru agama kita mengajarkan pendidikan agama Islam. Maka dalam bab kedua ini kita uraikan pula batasan mengenai etika sosial yang sangat sering diidentikkan dengan moralitas sosial. Etika sosial akan terwujud, ketika tiap-tiap orang secara individu telah mempraktekkan moralitas, terutama sekali dalam hal-hal hubungan sesama manusia, sehingga kumpulan dari individu atau sosial itu benar-benar berperilaku etis. Menjunjung HAM termasuk cakupan etika sosial. Dengan kata lain, seharusnya sasaran akhir dari pendidikan dan pendidikan agama pada khususnya adalah terbangunnya masyarakat yang beretika sosial ini. Ketika kita berbicara mengenai etika sosial, maka kita tidak dapat lepas dari pergaulan dunia. Disinilah pentingnya berbicara mengenai nilai-nilai universal yang mempunyai akar dari agama untuk membangun etika sosial ini, termasuk dalam kerangka komunikasi global. Untuk itu, perlu kita ungkapkan visi pendidikan dari UMSCO. Ini dapat kita lihat pada bab berikutnya. Bab tiga berjudul Visi Pendidikan Abad 21 UNESCO: Kaitannya dengan Ajaran dalam Islam. Di sini tujuannya bukan hanyamensosialisasikan visi Unesco tentang pendidikan di abad 21, namun juga memberi arti tambahan, termasuk bernilai pendekatan: (a) Sosialisasi sekaligus memberi landasan bagi umat Islam, bahwa apa yang diamanatkan oleh Unesco, tidak bertentangan dengan ajaran Islam, namun sejalan. (b) Memberi penekanan pada nilai-nilai universal yang terkandung di dalam ajaran Islam yang selama ini kurang mendapatkan perhatian untuk diungkapkan, terlebih lagi kepada para anak didik. (c) Ini juga sekaligus sosisalisasi tentang ajaran Islam yang sekaligus berarti nilai universal-kepada saudara-saudara kita yang kurang memahami tentang Islam. (d) Memberi keseimbangan kepada saudara-saudara kita yang memahami Islam dengan cara ekstrim dan eksklusif. Bab ini juga mengandung arti sedang menjadi juru bicara Unesco dengan bahasa agama. Atau sedang menjelaskan nilai-nilai Islam dengan bahasa Unesco. Bagian ke dua berjudul ARAH PENDIDIKAN AGAMA. Bagian ini memuat beberapa sub-bagian atau bab. Setelah kita berbicara mengenai pendidikan dan pendidikan agama secara konseptual dan sekaligus kaitannya dengan sosialisasi nilai-nilai universal, maka kini saatnya kita berbicara pendidikan, khususnya pendidikan agama, sampai pada dataran praktek.Bagian kedua ini diawali dengan bab empat berjudul Fitrah dan Akhirat: Mengajarkan Tanggung jawab . Bab ini mempunyai sasaran pada pribadi-pribadi seseorang, bahwa erat sekali kaitan antara fitrah dan akhirat dalam pemaknaan tanggung jawab. Justru di sini ada nilai lebih dari ajaran Islam yang cukup terlupakan yakni bahwa setiap perbuatan pasti ada tanggung jawab yang mempunyai konsekuensi akhirat kelak. Dengan kata lain, tanggung jawab tidak hanya sekedar bernilai administratif di dunia. Berangkat dari fitrah dan mentalitas inilah kemudian seseorang berkomunikasi dan bertransaksi dengan orang lain, sampai dalam wadah negara antar sesama warga negara dan antara warga dan penguasa atau sebaliknya. Jadi konsep akhirat bukanlah hanya berkonsekuensi individual dan hanya ada di akhirat kelak, namun sekaligus mencakup tanggung jawab sosial. Dalam waktu bersamaan, ketika guru mengajarkan akhirat, juga harus memberi penekanan pada perilaku di dunia, oleh karena tidak mungkin akhirat dipisahkan dari perilaku di dunia. Lebih tegas lagi bahwa perilaku di dunia pasti akan mempunyai dampak atau konsekuensi di akhirat. Jadi, etika sosialpun sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari teropongan akhirat di kemudian hari. Dari kenyataan bahwa ajaran akhirat tidak dapat lepas dari kenyataan mengenai perilaku di dunia, sementara itu ketika kita berbicara mengenai dunia tidak lepas dari kemajuan, maka perlu diuraikan kebebasan berpikir,sebagai bab berikutnya. Bab lima dari Bagian Kedua ini berjudulPendidikan Agama dan Kebebasan Berpikir: Reorientasi Aswaja . Hampir dapat dipastikan bahwa anggapan umum selama ini mengira bahwa pendidikan agama itu justru membelenggu atau memberi batasan-batasan untuk kebebasan yang positif, baik kebebasan berpikir apa lagi kebebasan bertindak. Jika agama diartikan seperti ini, maka agama tidak akan mampu memajukan pemeluknya dan jelas tidak akan mampu pula menjadikan pemeluknya sebagai manusia yang kehidupannya di dunia ini lebih baik. Dengan kata lain, jika diartikan seperti itu berarti jelaslah agama tidak sesuai dengan ajaran penting agama itu sendiri yang menghendaki umatnya untuk hidup di dunia yang baik (hasanah).Dan ini berangkat dari pemahaman dan pemaknaan terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ketika ada ajaran sangat umum diyakini oleh pemeluknya bahwa agama itu membelenggu pemikiran, maka di situlah yang harus diluruskan dengan pendekatan dari dalam itu sendiri. Nah, dalam judul ini ada upaya untuk merenovasi dan memberi inovasi pemahaman dan pemaknaan ajaran agama agar agama dapat menjadikan pemeluknya sukses di dunia (hasanah fi al-dunya), disamping juga sukses di akhirat (hasanahfi al-akhirah).Yang perlu dicatat adalah bahwa pelurusan pemahaman dan pemaknaan ini melalui jalur dari dalam itu sendiri, tidak kritik dari bahasa luar, yaitu dengan mengadakan reorientasi-atau bahkan pelurusan-pada praktek masyarakat tentang ajaranahlussunnahwal jamaah (aswaja). Aswaja sebagai ciri perilaku maupun sebagai manhaj (metodologi) yang menunjukkan kemoderatan dan toleransi sangat perlu dikemukakan dalam kondisi sekarang ini. Terlebih lagi, ini sangat sejalan dengan bahasa Unesco how to live together di atas. Dengan adanya tanggung jawab yang mempunyai implikasi di dunia dan di akhirat, maka perlu ada penegasan yang lebih kongkrit mengenai arah pendidikan agama, sebagaimana di dalam bab berikutnya. Bab enam berjudul Penegasan Kembali Arah Pendidikan Agama Islam . Dalam bab ini setelah dikemukakan beberapa contoh kelemahan penyampaikan pendidikan agama Islam selama ini, kemudian dikemukakan upaya perbaikan penyampaian pendidikan agama sampai pada arah pendidikan agama. Saya menyadari bahwa arah pendidikan yang saya kelompokkan menjadi empat inilah yang seharusnya nantinya perlu uraian dan penjelasan lebih detail-mungkin satu buku tersendiri. Empat arah ini akan kami jadikan sebagai kebijakan pendidikan agama Ditjen Kelembagaan Agama Islam. Dan dari arah ini kemudian nantinya disusun kurikulum dansilabus pendidikan agama di sekolah dan madrasah, sesuai dengan tuntutan zaman yang semakin berubah dan semakin ketat kompetisinya. Dua hal dari ompat arah pendidikan agama yang kurang mendapatkan perhatian selama ini adalah: (a) Pendidikan agama justru harus mampu menjadikan landasan agama untuk mendalami disiplin-disiplin ilmu yang selama ini disebut dengan llmu umum dan menjadi landasan untuk berprestasi semakin maju dan baik. (b) Pendidikan agama harus pula menekankan nilai-nilai yang bersumber dari agama dalam kehidupan sehari-hari di dunia yang lebih baik, yang juga merupakan ajaran etika-termasuk etika sosial. Jadi, dengan penegasan kembali ini dimaksudkan agar pendidikan agama bukan hanya mengajarkan do\\\\\\\\\\\\\\\a dan tatacmaibadah kepada Khaliknya. Namun, akan mampu berperanuktif untuk mendorong anak didik untuk lebih baik dan lebih maju serta untuk berkehidupan yang lebih santun dengan landasan etika sosial yang benar. Dengan demikian, seharusnya pendidikan agama harus mampu menjadi pilar utama, sebagai bagian dari pendidikan secara umum, untuk membangun etikalosial bangsa kita. Bagian ketiga adalah PENDIDIKAN UNTUK PEMAHAMAN DAN PENGHAYATAN ETIKA SOSIAL. Kalau kitik awal dengan menggugar pendidikan itu mempersoalkan praktek pendidikan kita yang masih saja muncul kisis kemanusiaan, maka di dalam bagian ini akan dibahas etika nosial yang pada dasarnya merupakan sasaran penting dalam sistem pendidikan kita. Bagian ini memuat enam sub-bagian atau bab. Bagian ini diawali dengan bab tujuh dengan judul Moralitas vs Realitas (sebelum direvisi, tulisan ini pernah dimuat di kolom l,atarhaian Jawa pos).Bab ini menunjukkan kenyataan di tengah-tengah masyarakat kita yang jelas-jelas hertentangan dengan ajaran moralitas, terlebih lagi jika dikaitkan dengansumber Islam. Beberapa contoh disebutkan di dalam tulisan ini, yang menggambarkan bahwa realitas masyarakat kita berbalikan dengan nilai-nilai ajaran etika sosial, terlebih lagi jika dikaitkan dengan ajaran Islam. Ketika kita yakin bahwa jika masyarakat kita melanggar ketentuan agama, akan menuai hasil berupa kebobrokan, maka kita perlu kembali mempelajari dan mengamalkan ajaran agama, yakni Islam. Itulah, maka bab ini dilanjutkan dengan pembahasan dalam bab berikutnya. Bab delapan berjudul Al-Qur\\\\\\\\\\\\\\\an Sumber Ajaran Etika Sosial . Bab ini menegaskan bahwa sumber utama etika sosial bagi umat Islam adalah al-Qur\\\\\\\\\\\\\\\an itu sendiri. Dalam waktu bersamaan, juga menegaskan justru al-Quran itu pada intinya menegakkan ajaran moral dan sarat dengan wujud nilai-nilai moral, tidak selalu semata-mata dengan bahasa hukum yang terkesan menakutkan. Namun, mengapa justru dilupakan oleh pemeluknya ? Oleh karena itu, di samping kita harus introspeksi, kita juga harus mau menggali lebih dalam lagi tentang makna dan pelajaran etika yang dalam al-Qur an padahal sudah jelas, ketika Al-qur an diamalkan oleh Nabi dan pararasyidun, di itulah tampak kehebatannya. Setelah menguraikan sumber ajaran etika sosial, lalu diikuti dengan beberapa tulisan yang secara langsung menjelaskan praktek etika sosial, dan meliputi pengajaran etika budi pekerti itu sendiri. Mengajarkan etika tidak cukup hanya dengan hafalan. Dengan demikian, mengajarkan agama Islam juga tidak cukup hanya dengan hafalan, sehingga perlu dilanjutkan dengan cara mengajarkan etika, sebagai bab berikutnya. Bab sembilan berjudul Mengajarkan Budi Pekert. Ini berkaitan erat dengan metode pengajaran nilai, termasuk ajaran dan notma etika Mengajarkan nilai sama dengan menyuruh anak didik untuk menghafal kata-kata bijak atau menghafal ayat-ayat al-Qur an namun hendaknya mempunyai. Pengajaran dan evaluasi yang komprehensif. Lebih dari itu, pengajaran etika juta harus diberi contoh oleh institusi yang mengajarkan etika itu sendiri. Kalau bab mengenai mengajarkan budi pekerti atau etika ini lebih umum, maka bab berikutnya menyebut contoh kongkit. Ketika berbicara mengenai etika sosial, ada beberapa topik yang sangat penting dan terkadang sensitif. Oleh karena itu dalam butu ini diuraikan beberapa bab mengenai lingkungan, SARA, dan voluntarisme atau pzilanthropy dalam kontek etika sosial dan dalam kerangka ajaran Islam. Bab sepuluh berjudul Membangun Etika Lingkungan . Kesadaran akan etika lingkungan tidak akan muncul dengan sendirinya, tanpa ada upaya untukmembaiguniya. Maka di sini harus dengan tegas kita membangun etika lingkungan. Oleh karena itu, etika lingkungan, yang merupakan bagian dari etika sosial, sangat penting untuk diajarkan kepada anak didik, tanpa harus membuat mata-pelajara, khusus berupa etika lingkungan. Artinya, di madrasah dipraktekkan oleh para guru dan kepala madrasah/sekolah untuk mewujudkan etika lingkungan ini. Mempraktekkanetika lingkungan pada dasarnya untuk menjaga lingkunqan. Sedangkan menjaga iingkingan pada dasarnya juga untuk kelestarian kehidupan manusia. Jadi, ketika kita mengajarkan dan mempraktekkan etika lingkungan pada akhirnya kita sendiri yang akan menikmati manfaatnya, di samping kita juga memberikan kemanfiatan kepada generasi berikutnya. Sebaliknya, jika kita merusak lingkungan, kita puia yang akan menderita akibat negatifnya dan kita akan diJatat Jebagai mimberikan warisan kemudaratan kepada generasi yang akan datang. Contoh lain yang sangat serius untuk dipahami dalam toniek etika sosial adalah masalah SARA, sehingga menjadi bab berikutnya. Bab sebelas berjudul Memahami SARA: Bagaimana Mengajarkan Rcspck dan Tanggung Jawab . Dapat kita katakan telah terjadi kesalahan perenunganan mengenai SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Sebab ini SARA dianggap sebagai hal yang selalu negatif dan tabu. Padahal SARA itu netral (mempunyai potensi positif dan negatif) dan merupakan realitas yang tidak dapat dihindari, serta dalam banyak hal dapat berperan positif. Untuk membangun kembali potensi positif dari SARA dalam konteks upaya mengurangi atau menghindari kisis kemanusiaan, maka di sini sayaunrikan tentang ajaran respek dan tanggung jawab. Jadi, setiap kita mengingat SARA hendaknya selalu diikuti konsep nilai tentang respek dan tanggung jawab. Dengan cara seperti ini, maka SARA akan selau menonjolkan potensi positif dan menghindarkan potensi negatifnya. Ini menurut hemat saya merupakan keharusan untuk diajarkan kepada anak-anak di tiap-tiap sekolah madrasah. Lebih dalam lagi, anak-anak yang tidak lepas dari SARA ini diharapkan akan saling belajar dan saling memberi dari tradisi-tradisi yangdimiliki oleh masing-masing kelompoknya. Jadi, pada akhirnya mengajarkan SARA ini adalah bahwa SARA bukan hanya netral, namun juga produktif dan bermanfaat bagi seluruh bangsa. Semakin produktif dan bermanfaat lagi, ketika respek dan tanggung jawab itu dibarengi dengan pemahaman dan praktek vluntarisme atau philanthropy, sebagai bab berikutnya. Bab dua belas berjudul Mengajarkan Voluntarisme Islam . Istilah dan praktek selama ini sangat kurang disampaikan kepada anak didik di sekolah/madrasah. Padahal jelas sekali nilai dan ajaran Islam mengenai voluntarisme ini. Kita juga harus sadar b ahwa civic educationtidak dapat lepas dari praktek voluntarisme ini. Oleh karena itu, ketika kita sudah mengajarkan dan sekaligus mempraktekkan voluntarisme, maka sudah sekaligus mengajarkan dan mempraktekkan salah satu aspek dwi civic education kepada anak didik di sekolah dan madrasah. Sering pula kita saksikan, ketika ajaran zakat, shadaqah, infaq, dan sesamanya disampaikan kepada orang lain, yang tampakadalah hukum sebagai bentuk pembebanan. Nah, di sinilah yang perlu kita sesuaikan dengan kondisi psikologis, sehingga ajaran yang bersifat kemanusiaan itu akan menampakkan wajah dan ciri kemanusiaan pula, bukan pembebanan. Saya mempunyai keyakinan, jika isi bab-bab di atas dapat ditanamkan kepada anak didik kita dan anggota masyarakat kita secara keseluruhan, maka kehidupan bangsa kita akan tampak berubah sama sekali dari wajah yang ada sekarang ini. Yakni, akan menjadi ramah dan menjunjungbahkan mempraktekkan etika sosial. Di sanalah maka disebut membangun etika sosial bangsa. Namun, bagaimana cara menyampaikan kepada anak didik? Itulah, maka dalam bab berikutnya, sebagai bab dan bagian terakhir dalam buku ini, ukuriibuf,us bagaimana memberikan nilai-nilai etika sosial tersebut dalam praktek di sekolal/madrasah. Bagian keempat berjudul MENDIDIK UNTUK SUKSES. Bagian ini hanya memuat satu bab, sebagai bab ketigabelas. Sesuai dengan bunyi judul di atas, maka bagian atau bab ini sangat operasional atau praktis. Bab ini berjudulMenciptakan Madrasah/Sekolah untuk Mendidik Anak Sukses Masa Depan . Tulisan ini merupakan kumpulan sambutan/pengarahan saya sebagai Dirjen pada beberapa kesempatan pertemuan dan workshop. Kemudian saya revisi cukup banyak untuk disesuaikan dengan keperluan sasaran buku ini. Bab ini juga memuat beberapa elemen yang terkadang disebut konvensional,namun tetap berlaku di alam modern. Menurut hemat saya, memang ada beberapa elerhen yang konvensional atau bahkan tradisional yang selama ini dilupakan dalam mengelola lembaga pendidikan. Namun, justru di negara maju elemen-elemen itu mendapatkan perhatian sangat menonjol. Contoh beberapa elemen yang saya maksudkan tersebut adalah peran guru, peran kepala sekolah/madrasah, keterlibatan orang tua murid, keterlibatan masyarakat, cararnendidik anak, dll. Judul ini mencakup pula pemaknaan kontekstual terhadap hal-hal yang sebenamya sudah menjadi rutinitas, seperti pemaknaan mengenai taqwa, yang kemudian saya kaitkan dengan civic education. Menurut hemat saya, judul ini sangat penting bagi guru, kepala sekolah/madrasah dan masyarakat, terutama sekali orang tua murid dan murid itu sendiri. Saya berani memberi jaminan, bahwa kalau isi tulisan ini dipraktekkan dalam pengelolaan lembaga pendidikan, insya Allah pendidikan kita akan sukses. Itulah, maka judul babnya berbunyi seperti itu. Nilai dan ajaran etika sosial yang berangkat dari etika invidual itu semua mempunyai akar dan sumber dari ajaran agama Islam. Oleh karena itu, bukan saja sudah seharusnya dososialisasikan kepada anak didik, dan terutama sekali kepada para guru dan orang tua, namun juga perlu ada pelurusan pemahaman dan pemaknaan ajaran agama Islam yang disampaikan kepada anak didik di sekolah/madrasah. Mengajarkan etika sosial merupakan kewajiban dalam sistem pendidikan kita. Dan terlebih lagi adalah kewajiban para guru agama kita dan kewajiban untuk menyampaikan pendidikan agama yang tepat denganarah yang jelas tadi. Kalau ini disadari dan dipraktekkan oleh kita semua para pendidik dan para pengelola pendidikan, termasuk orang tua murid, insya Allah generasi kita akan diselamatkan dari kisis kemanusiaan yang sudah berkepanjangan ini. Semoga
650 # 4 $a Etika Sosial
650 # 4 $a Islam
990 # # $a 017215
990 # # $a 017216
Content Unduh katalog