08196 2200229 4500001002100000005001500021035002000036008004100056245005200097100002400149260004500173300002300218020001800241084001700259520762100276082001107897650001207908650001407920990001007934990001107944990001107955INLIS00000000000726920211124030721 a0010-0721002528211124 g 0 ind 1 aRakyat (Bukan) Tumbal (Kekerasan Dan Kekuasaan)1 aPurnomo, Aloys Budi aJakarta :bGramedia Pustaka Utama,c2007 a152 hlm. ;c20 cm. a979-22-2294-4 a323.01 PUR r aRAKYAT (BUKAN) TUMBAL (KEKERASAN KEKUASAAN)Ironis dan paradoksal ! Strategi menaikkan harga BBM per 1 Oktober 2005 oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla hingga lebih dan 100% menjadi cermin ketidakadilan bagi rakyat. Perhitungan politik yang tidak adil termanifestasi dalam fakta: buah kenaikan harga BBM adalah bantuan langsung tunai (BLT) kepada rakyat miskin sebesar Rp100.000,00 per bulan, sementara kepada para wakil rakyat Rp10.000.000,00 per bulan (akan) diberikan sebagai tunjangan ! Perbandingan angka itu membuktikan ungkapan yang kaya makin kaya , yang miskin makin miskin . Ibaratnya, rakyat tergencet menjadi kuda tunggangan, sedangkan wakil rakyat terhormat menerima tunjangan! Itulah potret ketidakadilan mutakhir di Era Reformasi yang harus dihadapi rakyat, sebagai tumbal kebijakan elite politik dan penguasa Republik Indonesia. Belum lagi, dalam kondisi seperti itu, pemerintah tega menaikkan anggaran belanja rumah tangga kepresidenan yang angkanya dinilai banyak pihak fantastis di tengah krisis ! RAKYAT [BUKAN] TUMBAL [KEKUASAAN KEKERASAN] Potret ketidakadilan itu makin tajam dan kontras saat menyaksikan balada kehidupan keluarga miskin yang harus menerima BLT Demi Rp 100.000,00 nyawa dipertaruhkan. Beberapa warga miskin terenggut maut. Antrean untuk mendapatkan BLT panjang dan semrawut. Beberapa warga masyarakat yang didaulat menjadi ketua dan pengurus RT-yang notabene tak dibayar-turut menjadi korban penyaluran BLT Beberapa ketua RT di sejumlah daerah bukan hanya stres, tetapi jarang, mati mengenaskan, entah karena minum racun atau dibunuh warganya sendiri yang tidak puas dengan proses penyaluran BLT. Sementara itu, para wakil rakyat diam membisu saat usulan tunjangan Rp 10.000.000,00 digulirkan dalam sidang yang mereka selenggarakan Persis di tengah krisis, ketidakadilan terjadi, membuat nurani kita teriris.Terbukti betapa mereka, para wakil rakyat, tidak mewakili kepentingan rakyat selain diri mereka sendiri. Fakta itu juga menunjukkan tiadanya kepekaan dalam diri mereka terhadap penderitaan rakyat. Pasti, kalau tunjangan Rp10.000.000,00 diberikan, para wakil rakyat yang terhormat tak perlu antre berdesakan. Tak perlu sampai terenggut maut ! Sungguh, betapa tidak adil kenyataan ini! Menyedihkan! Memprihatinkan ! Padahal, ketika Republik Indonesia diproklamasikan sebagai bangsa merdeka oleh para founding father-nya, cita-cita yang hendak diraih adalah kesejahteraan, keadilan, dan perdamaian bagi seluruh rakyat Indonesia. Kenyataannya, setelah lepas dari belenggu kolonialis, rakyat justru terjerat oleh para penerus yang memimpin republik ini. Penguasa memeras rakyatnya sendiri ! Contoh yang masih lekat di benak kita adalah lebih dari tiga dekade rakyat hidup dalam dominasi rezim Orde Baru, namun warisan yang diterima justru krisis multidimensional yang tak kunjung henti. Orde Baru di bawah komando H.M. Soeharto, yang pada masanya diagungkan sebagai Bapak Pembangunan, ternyata membuat republik ini tampak keropos pasca kejatuhannya,21 Mei 1998. Sendi kehidupan sosial begitu rapuh, sehingga dengan mudah berantakan oleh aksi kekerasan horizontal antar masyarakat. Kesan pertama begitu manis. Orde Baru tampaknya menghadirkan kesuksesan pembangunan di segala bidang. Akan tetapi, hingga hari ini rakyat justru seolah terus menangis. Krisis ekonomi di pengujung masa kekuasaannya membuat negeri ini seolah luluh lantak! Warisan ekonomi, sosial, politik, serta pertahanan dan keamanan ternyata begitu rapuh. Rakyat dibuat lumpuh layu dalam wawasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukti paling signifikan dari kenyataan itu adalah porak-porandanya sendi-sendi kehidupan di pengujung masa kepemimpinan Soeharto. Masa jaya Orde Baru tidak ditutup dengan kisah happy ending, melainkan ditaburi aksi kekerasan yang merebak di seluruh Nusantara. Kisah tragis menjelang jatuhnya Soeharto dari pucuk kekuasaan merupakan noda sejarah yang takkan pernah terlupakan. Namun itu berupa kerusuhan massal 13-15 Mei 1998. Dalam kerusuhan itu, tercatat 13 pasal, 2.479 ruko, 40 mal, 1.604 toko, 45 bengkel, 387 kantor, sembilan SPBU, delapan bus dan kendaraan umum lainnya, 1.119 mobil, 821 sepeda motor, dan 1.026 rumah RAKYAT IBUKAN] TUMBAL [KEKUASAAN KEKEBASAN] tinggal dijarah, dirusak, dan dibakar dalam aksi destruktifa narkis. Yang memalukan dan memilukan, dalam tragedi itu jarang terjadi perkosaan massal terhadap puluhan kalau bukan ratusan perempuan etnis Tionghoa. Kekerasan demi kekerasan terus berlanjut sampai Orde Reformasi. Republik Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai bangsa ramah, santun, pewaris religiositas leluhur tiba-tiba berubah menjadi garung.Aksi teror bom merebak tak terkendali. Tahun 2000, pada malam Natal, secara sporadis bom meledak di berbagai tempat , dan Medan hingga Mataram, dari ujung barat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga ujung timur NKRI. Begitulah, teror bom dengan daya ledak dahsyat pun berlanjut, misalnya di Bali (hingga dua kali, 12 Oktober 2002 dan 1. Oktober 2005), di Jakarta, dan di Poso. Rakyat jadi korban, jadi tumbal ! Bahkan, selama tahun 2004 lebih dari sepuluh kali bom meledak di berbagai tempat, menjadi teror mengerikan bagi rakyat. Fakta itu baru sebagian dari sekian banyak fakta yang mengalir dari sumber kekerasan di bumi pertiwi. Dalam semua peristiwa itu, siapa yang menjadi korban ? Rakyat! Rakyat ibarat tumbal bagi aksi kekerasan, aksi penindasan, aksi ketidakadilan. Dari masa ke masa, dari satu rezirn ke rezim lain, rakyat selalu dan tetap menjadi korban. Rakyat jadi tumbal ! Padahal, semestinya rakyat bukan dan tidak boleh jadi tumbal ! Dalam konteks sosial-politik-ekonomi Indonesia, tidak berlebihan bila kita berharap rakyat jangan terus-menerus dijadikan tumbal. Rakyat bukan tumbal bagi kepentingan apa pun: sosial, keagamaan, politik, dan ekonomi. Rakyat jarang, timbal bagi kepentingan siapa pun: para penguasa, berusaha yang berkuasa, dan oknum tertentu yang kerap kali mencari kepentingan mereka sendiri memecah belah rakyat melalui aksi teror dan kekerasan. Keprihatinan inilah yang mau diserukan melalui buku ini: Jangan jadikan rakyat tumbal kekuasaan dan kekerasan ! Hal itu menjadi benang merah yang mengikat keempat dalam buku ini. Buku ini merupakan pengolahan kembali beberapa artikel saya yang pernah dimuat di berbagai media massa pada 2003-2005. Dengan demikian, peristiwa penting tli bidang sosial-ekonomi-politik yang terjadi dalam kurun waktu tersebut menjadi titik tolak refleksi. Ternyata, peristiwa yang satu dan lainnya menyimpan persoalan yang sama, yakni ketidakadilan terhadap rakyat yang selalu jadi tumbal kekuasaan dan kekerasan. Sebagian besar artikel tersebut pernah diterbitkan oleh Kompas di kolom opini. Beberapa artikel diterbitkan oleh Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Solo Pos, dan majalah mingguan Hidup. Setelah membaca ulang artikel tersebut, kata yang muncul adalah rakyat dan tumbal. Itulah sebabnya buku ini diberi judul Rakyat (Bukan) Tumbal, yang jarang, menjadi salah satu judul artikel yang pernah dimuat Kompas. Karena penumbalan rakyat cenderung lahir dari kekuasaan dan kekerasan, saya melengkapi judul t menjadi Rakyat (Bukan) Tirmbal (Kekuasaan Kekerasan). Semoga perenungan di buku ini memberikan kesadaran kepada kita semua agr tidak mudah menjadikan sesama sebagai tumbal tindakan kita. Khusus bagi yarrg terhormat RAKYAT [BUKAN] TUMBAL [KEKUASAAN KEKEBASAN] para elite politik dan penguasa, semoga kenyataan yang terus terjadi, yakni bahwa rakyat selalu menjadi tumbal, membukamata batin mereka sehingga lebih arif bijaksana dalam menyelenggarakan keadilan, kesejahteraan, dan keadilan bagi rakyat a323.01 4aPolitik 4aHak Sipil a10762 a041272 a041273