12428 2200241 45000010021000000050015000210350020000360080041000562450061000971100014001582600044001723000024002160200014002400840020002545201182000274082001412094650002312108990001112131990001112142990001112153990001112164990001112175INLIS00000000000442520220706094732 a0010-0621004025220706 g 0 ind 1 aAntropologi Indonesia Tahun XXV No.64 Januari-April 2001 aIndonesia aJakarta :bUniversitas Indonesia,c2001 a40 hlm. ;c23,5 cm. a0126-1576 aR.070.301 IND a aAntropologi Indonesia Th.XXV, No.64Dalam edisi ini, isu pembangunan ditampilkan lagi sebagai tema utama. Bertolak dari materi yang berasal dari dua buah panel yang digelar dalam Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-1 di Makssar tgl. 1-4 Agustus 2000 yang lalu, isu pembangunan kali ini lebih difokuskan pada faktor sfruktural yang mewarnai corak pembangunan pada masa Orde Baru dan alternatifnya. Alternatif itu memfokus pada upaya untuk mengarahkan haluan pembangunan pada keselarasan antara ide baru yang dibawa oleh pembangunan dengan kondisi lingkungan dan kebudayaan pada komuniti-komuniti lokal.Dua tulisan dari panel Mengangkat Keterpurukan: Mendefinisi Ulang Budaya Birokrat dan Militer yang dikoordinasi oleh Amri Marzali dan M. Junus Melalatoa, dan lima tulisan dari panel Pengelolaan Sumberdaya Lokal: Antara Keuntungan dan Kelestarian yang dikoordinasi oleh S. Budhisantoso dan Yunita T. Winarto disajikan dalam tulisan ini. Tulisan Parsudi Suparlan mengenai Orang Kamoro berasal dari makalah yang dipresentasikan dalam seminar Eksploitasi Sumberdaya Alam dalam Konteks Kebudayaan Lokal dan Otonomi Daerah . Seminar itu berlangsung pada tanggal 26-27 ApnI 2001 di FISIP-UI, Depok--diselenggarakan oleh JurnalANTROPOLOGI INDONESIA bekerjasama dengan Laboratorium Antropologi Universitas Indonesia, Jaringan Kerja MIGAS dan Pertambangan, dan The Jakarta Consulting Group-sebagai kegiatan Pra-simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2 di Padang.Keseluruhan artikel yang tampil pada edisi 64 ini dihimpun dan diseleksi oleh Amri Marzali, S.Budhisantoso, Yunita T. Winarto, dan Semiarto A. Purwanto. Dalam tulisan pengantarnya, S. Budhisantoso memberikan gambaran mengenai bagaimana pembangunan-yang sesungguhnya merupakan suatu usaha untuk meningkatkan peradabanmenuju ke kesejahteraan seluruh warga negara-tidak seperti yang diharapkan. Dalam kasus pembangunan Indonesia, persoalan yang muncul adalah bagaimana menciptakan dan mempertahankan integrasi nasional. Ketika integrasi dan stabilitas sudah tercapai, kendala yang dihadapi adalah bagaimana memilih model pembangunan yang tepat agar hasil dari pembangunan itu bisa dirasakan oleh setiap warga negara. Pada masa Orde Baru, pembangunan bangsa berdasarkan pertumbuhan ekonomi sebagai ujung tombak mencapai kesejahteraan, merupakan pilihan bersama. Pada saat yang sama, rezim penguasa saat itu juga menggunakan berbagai potensi yang ada pada negara untuk mempertahankan kekuasaan. Aparat birokrasi pemerintah dan angkatan bersenjata pun secara struktural menjadi bagian dari proses pembangunan, yang kemudian menciptakan berbagai masalah.Militer-yang pada masa awal berdirinya negara merupakan kekuatan utama untuk mempertahankan integrasi nasional-banyak dilihat sebagai pelaku penting dalam sejarah negara-bangsa Indonesia merdeka. Doktrin penggunaan kekuatan atau kekerasan, yang dalam tulisan kedua disajikan oleh Andi Widjajanto, tetap disosialisasikan sampai pada masa sesudah fase integrasi nasional tercapai. Dengan alasan untuk menjaga stabilitas nasional, militer tampil sebagaisalah satu aktor utama dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Dalam wacana demokasi yang berembus kuat tiga tahun terakhir ini, cara-cara militeristik tentu menjadi penghalang utama bagi pembangunan. Selain secara langsung bertentangan dengan hak azasi manusia yang inherendengan ide demokasi, militer telah menjadi komuniti dengan sub-kultur sendiri yang menjauhkan prinsip equality antarsegenap komponen bangsa.Persoalan peran militer dalam kehidupan bernegara ini telah menjadi titik perhatian utama. Dewasa ini, ada upaya untuk mereformulasi peran militer, baik oleh para kntisi pembangunan diIndonesia, maupun oleh pihak mrliter sendiri. Dalam wacana pembangunan pada masa menuju masyarakat demokratis saat ini, doktrin peran militer sebagai stabilisator , dinamisator dan akselarator dalam kehidupan berbangsa, dan khususnya dalam menjalankan strategi pembangunan nasional, menjadi tidak relevan lagi. Upaya untuk mereposisi diri menjadi isu utama bagi militer pada masa berlangsungnya reformasi dan revolusi 1998 yang menempatkan militer sebagai salah satu pihak yang harus bertanggung jawab terhadap ambruknya perekonomian. Di kalangan militer maupun sipil, salah satu ide yang dominan berkaitan dengan peran militer adalah tuntutan agar militer berperan secara profesional . Ide ini bergema luas,hangat dibicarakan di rnedia massa dan di ruang publik. Dalam tulisannya, J. Kristiadi berusaha mengupas apa dan bagaimana sebenarnya yang dimaksud dengan profesionalisme militer atauTM. Secara seksama penulis mengkaji dialektika antara konteks negara dan strategi peran militer TM sejak masa kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, dan pada masa pasca orde . Pesan mengenai militer yang profesional terutama lebih ditujukan pada posisi yang harus ditempuh pada masa transisi politik negura dengan cara melepaskan ikatan strukturalnya dengan birokrasi. Dalam ril konteks negara-bangsa Indonesia saat ini, konteks transisi politik itu nampaknya juga merupakan transisi atau hansformasi tatanan sosial-budaya menuju ke arah lebih demokratis. Kasus yang ditampilkan oleh Jamilah Nur dan Elizabeth Collins di Sumatra Selatan menunjukkan bagaimana kongsi antara pengusaha, birokrasi dan militer telah menyebabkan warga komuniti menjadi semakin miskin. Komuniti yang tinggal di beberapa desa di SumatraSelatan-yang lingkungan sekitarnya telah dikonsesikan oleh pemerintah pada pengusaha untuk Iahan kebun kelapa sawit, dan hutan tanaman industri-telah kehilangan lebensraum-nya. Habitat tempat mereka berinteraksi dengan alam, mencari penghidupan dan menggantungkan masa depannya, telah tercerabut dari tangan mereka. Konflik yang berkaitan dengan sengketa tanah antara warga komuniti dengan pengusaha berkembang meluas dengan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Kelompok LSM dan pers berada pada sisi warga komuniti sedangkan pada pihak pengusaha, ada pejabat pemerintah dan militer. Dalam masa transisi ini, kasus-kasus konflik yang diamati antara tahun I999-20W mengindikasikan adanya pergeseran.kekuatan politik di tingkat lokal. Kali ini, petani-petani miskin yang biasanya tersudut dan elit politik lokal yang selalu kalah dengan elit pusat, mendapat giliran untuk tampil ke muka.Konflik tanah yang berkepanjangan sebagai akibat kebijakan pemerintah (pusat) yang seringkali mengesampingkan kepentingan lokal terjadi juga di Irian Jaya papua. Leontine Visser dengan jitu menunjukkan ironi yang terjadi pada wilayah yang kaya sumberdaya alam, tetapi penduduknya tetap saja miskin. Dengan berbagai program pembangunan yang dilakukan, dan banyaknya sumberdaya alam yang dikeruk, tetap saja warga komuniti lokal tidak memperoleh kesejahteraan yang setara (equal) dengan apa yang diperoleh kelompok lain. Kasus ini menjadi semakin krusial dengan adanya ratusan kelompok etnis di Irian Jaya (Papua). Mirip dengan kasus yang ditampilkan Nuh dan Collins di Sumatra Selatan, sejumlah elit lokal di Irian Jaya (Papua) juga memperoleh kesempatan untuk mengelola sumberdaya alam mereka. Namun, isu mengeqai ketidaksetaraan (inequality) afiara sesama warga Irian Jaya (Papua), sekali lagi mematahkan ide bahwa desentralisasi dan pemberian otonomi daerah akan secara otomatis meratakan kesejahteraan di tingkat lokal. Kajian serupa yang menunjukkan bagaimana warga komuniti lokal mengelola sumberdaya alam disajikan oleh Gerard A. Persoon. Warga komuniti yang sebelumnya tidak terlalu berperandalam penentuan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, kini memperoleh kesempatan itu. Hal itu dimungkinkan tidak saja sebagai akibat reformasi yang bergulir pada tingkat pemerintahan, tetapi juga sebagai akibat dihentikannya proyek pengelolaan Pulau Siberut yang dibiayai Asian Development Bank (ADB). Pada kasus yang diangkat Persoon ini, pihak pemerintah diwakili oleh pemerintah daerah propinsi Sumatra Barat. Berbagai kepentingan yang terlibat dalam usaha pengelolaan Pulau Siberut-entah sebagai hutan produksi maupun kawasan konservasi-telah membuat distorsi pada tujuan dan makna pembangunan itu sendiri. Hal itu mendorong warga komuniti untuk memilih cara pengelolaan sumberdaya alam yang tersedia dengan kemauan sendiri, dengan modal sosial yang mereka miliki, yang tidak seluruhnya berkaitan dengan ide pembangunan.kasus yang diangkat Parsudi Suparlan dalam menganalisis perubahan sosial budaya di Kamoro sebagai dampak dari pembangunan juga mengisyaratkan adanya implikasi lain dari tujuan pernbangunan itu semula. Dampak itu muncul sebagai akibat kurang diperhatikannya budaya lokal oleh para agen pembangunan, dan tidak disosialisasikannya ide pembangunan secara baik pada warga komuniti. Ketika ide pembangunan yang bernama profit sharing berupa dana sejuta rupiah dari PT Freeport ditawarkan pada masyarakat, muncul fenomena yang secara ironis dinyatakan melalui tamsil: dari pemburu dan peramu bahan pangan menjadi pemburu dan peramu dana kesejahteraan .Pembangunan yang dianggap mempengaruhi atau bahkan mengubah kebudayaan lokal adalah hal yang wajar. Tetapi, bagaimana mengintregasikan kebudayaan lokal yang sarat dengan pengetahuan lokal pada paradigma pembangunan, menjadi tema tulisan Yunita T. Winarto dan Ezra M. Choesin. Dengan memakai istilah pengayaan pengetahuan lokal, tulisan ini membahas dinamika pengetahuan lokal pada komuniti pesisir di Paojepee dan Tongke-tongke, Sulawesi Selatan, dan komuniti petani di Lampung Tengah. Pengayaan pengetahuan lokal yang terjadi dalam beberapa kasus tersebut juga merupakan dampak dari ide baru yang diintroduksi oleh pembangunan. Masalahnya terletak pada bagaimana ide baru tersebut bisa diinkorporasikan dalam pranata sosial yang ada atau bagaimana pranata sosial diciptakan, dikembangkan, dan diperkuat guna menunjang upaya perubahan, pengayaan, dan/atau pemantapan pengetahuanpenduduk lokal, untuk dapat menjadi acuan dalam pengambilan keputusan dan penyusunan strategi tindakan. Hal kunci untuk memahami pergeseran strategi pembangunan adalah isu pendampingan untuk memperkuat pranata sosial yang ada. Diharapkan hal itu akan membantu penduduk lokal menciptakan pranata sosial b4ru sebagai pengganti penyuluhan yang sangat monologis itu. Dengan berbekal pada prinsip kemitraan , diharapkan bahwa pembangun menjadi lebih berakar dalam suatu komuniti. Isu berikutnya adalah mengenai agen pembangun yang tidak lagi tunggal terpusat pada pemerintah, tetapi pada semua pihak yang birkepenting terhadap suatu sumberdaya alam, wilayah atau komuniti. Pendekatan yang -bersifat holder ini mengangkat pengetahuan lokal yang dimiliki oleh suatu komuniti, sekaligus mengangl komuniti tersebut pada posisi yang equal sebagai pelaku dan penikmat pembangunan. Edisi Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA no. 64 juga dilengkapi dengan tinjauan yang diasuh oleh Irwan M. Hidayana, berita buku dan berita kegiatan iimiah yang dilaksanak oleh Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA. Ucapan terimakasih ditujukan pada semua pihak yang membantu suksesnya penyelenggaaraan Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-l di Makassar, 1-4 Agustus 2000. Terima kasih juga ditujukan pada rekan-rekan pengusaha tambang dari Jaringan Kerja MIGAS dan pertambangan (IATMI) yang terlibat kerjasama dengan baik dalam acara seminar Eksploitasi Sumberdaya Alam dalam Kontek Kebudayaan Lokal dan Otonomi Daerah . Demikian pula halnya dengan kontribusi yang diberikan oleh The Jakarta Consulting Group dalam penyelenggaraan kegiatan Pra-simposium Internasion Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2 di Padang tersebut. Rubrik Berira dalam edisi : menyajikan tujuan seminar serta butir-butir pemikiran yang digagaskan dari kegiatan temu ilmiah itu, dilengkapi dengan makalah utama yang disiapkan oleh A. Soiry Keraf, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan disajikan oleh H. Hariadi, Deputi III Bappedal. Selamat membaca!yl.

 aR.070.301 4aJurnal Antropologi a027806 a027807 a027808 a027809 a027810