05768 2200229 4500001002100000005001500021035002000036008004100056245006200097110001400159260004400173300002500217084002000242520518400262082001405446650002305460990001105483990001105494990001105505990001105516990001105527INLIS00000000000435220220706095113 a0010-0621003952220706 g 0 ind 1 aAntropologi Indonesia Tahun XXVII, No.71 Mei-Agustus 2003 aIndonesia aJakarta :bUniversitas Indonesia,c2003 a100 hlm. ;c23,5 cm. aR.070.301 IND a aAntropologi Indonesia th.XXVII, No.71 Salah satu masalah pelik yang berakar panjang dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebagai satu bangsa adalah masalah hubungan antarwarga Indonesia dengan orang-orang Tionghoa sebagai suatu entitas sosial. Di satu sisi banyak orang-orang Tionghoa yang lahir dan dibesarkan di bumi pertiwi dan menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Di sisi lain, orangorang Tionghoa adalah keturunan dari mereka yang datang dari negeri Cina dan beranak pinak di Indonesia. Kolonialisasi Belanda menempatkan etnik Tionghoa dalam kelompok masyarakat non-pribumi seperti juga Arab dan India yang akhirnya mewariskan anggapan bahwa Tionghoa adalah entitas asing yang bukan termasuk dalam bumiputera. Fakta sejarah migrasi menunjukkan bahwa kedatangan orang-orang Tionghoa bahkan sudah lebih dahulu dibandingkan dengan kelompok etnik yang dianggap asli, seperti yang terjadi di Kalimantan Barat. Namun, hat ini tidak pernah dikaji secara khusus oleh pemerintah Orde Baru yang alih-alih selalu membebani etnik tionghoa dengan tuduhan politis terlibat komunisme. Dikotomisasi antara pribumi dan `nonpribumi menjadi wacana yang amat dominan selama rezim Soeharto dengan perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa. Saat itulah istilah keturunan Cina mulai menggeser sebutan diri bagi dan oleh orang-orang Tionghoa. Berbagai masalah seputar kehidupan seharihari dan kehidupan sebagai warga masyarakat dan bangsa tidak dapat dilepaskan dari dikotomisasi tersebut. Hal ini membawa implikasi yang jauh bagi kehidupan berbangsa di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir.Kini, dengan maraknya wacana reformasi dan kesempatan untuk mengartikulasikan diri dalam tradisi kebudayaan masing-masing kelompok etnik, orang-orang Tionghoa di Indonesia pun kembali menggali akar budayanya, memodifikasinya sesuai dengan situasi dan kondisi masa kini, dan mengenali lagi jati dirinya. Apa pun yang telah terjadi pada masa lampau, kini bersamasama dengan segenap warga Indonesia, orang-orang Tionghoa menghadapi berbagai kemelut bangsa. Wacana multikulturalisme sebagai wujud masyarakat Indonesia di masa depan tentu tidak mungkin terlepas dari keberadaan orang-orang Tionghoa di tengah-tengah beragamnya kelompok-kelompok kebudayaan yang lain. Panel tentang Ethnic Chinese and Multicultural Society dalam Simposium Intemasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3 yang bertema: Membangun Kembali Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika : Menuju Masyarakat Multikultural, menjadi amat signifikan dalam revitalisasi kebudayaan dan hak-hak kewarganegaraan etnik Tionghoa.Koordinator panel, Leo Suryadinata dari Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS Singapore) menjadi penyunting khusus edisi ini. Sejumlah artikel utama yang diterbitkan dalam edisi ini seluruhnya berasal dari makalah-makalah yang disajikan dalam panel tentang Ethnic Chinese and Multicultural Society. Terima kasih secara khusus kami sampaikan pada koordinator panel dan para penulis yang telah memberikan sumbangsih yang kaya dalam presentasi, diskusi, dan penulisan ulang makalah mereka. Sejumlah makalah berbahasa Inggris telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia untuk penerbitan ini. Versi berbahasa Inggris dari edisi ini akan diterbitkan oleh penerbit internasional agar wacana, kajian, dan temuan-temuan empiris yang disaj ikan oleh para penulisnya dapat dicermati oleh pembaca di manca negara. Redaksi berharapANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003 agar edisi khusus ini dapat menggulirkan berbagai kajian dan telaah lebih mendalam tentang masalah-masalah seputar eksistensi kebudayaan Tionghoa dan peranannya dalam menunjang terbentuknya masyarakat multikultural di Indonesia.Dalam edisi ini, rubrik-rubrik yang lain tetap setia menemani pembaca. Versi on-line dari jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA dapat dikunjungi pada situs: http:/www.jai.or.id. Selamat membaca! Redaksi Errata for the article `Ritual Subordination to the Core-Line and Bali Aga Cultural Identity: Some Preliminary Research Notes on the Kabayan of Gunung Batukau written by Arlette Ottino, published in ANTROPOLOGI INDONESIA vol. XXVII, no.70, JanuaryApril 2003, pp. l-19. In the last paragraph of page 15, appeared:`This raises the issue of how, given the extent of the reforms undertaken by the Parisada Hindu Dharma over the last forty years from which even Wangaya Gede could not escape, one might ask how the Kabayan managed to retain their ritual supremacy in Pura Luhur. With such extraordinary ancestors to confirm his status and proficiency therefore, the Kabayan needs not refer to a foreign origin. It should be written as follow:This raises the issue of how, given the extent of the reforms undertaken by the Parisada Hindu Dharma over the last forty years from which even Wangaya Gede could not escape, the Kabayan managed to retain their ritual supremacy in Pura Luhur. With such extraordinary ancestors to confirm their status and proficiency, the Kabayan need not refer to a foreign origin. The phrase `father s daughter which was written on the article should be replaced with the phrase `father s brother s daughter .With this errata, we hope that there will be no misunderstanding in reading the article. aR.070.301 4aJurnal Antropologi a027811 a027812 a027813 a027814 a027815