03460 2200241 4500001002100000005001500021035002000036008004100056245005700097100001700154260003200171300002500203020001800228084001800246520286300264082001103127650002503138990001103163990001103174990001103185990001103196990001103207INLIS00000000000192020220317021407 a0010-0621001520220317 g 0 ind 1 aPerempuan multikultural (negosiasi dan Representasi)1 aHidayat, Edi aJakarta :bDesantara,c2005 a307 hlm. ;c21,5 cm. a979-359-601-5 a305.443 HAY p aPEREMPUAN MULTIKULTURAL : NEGOSIASI DAN PRESENTASIPerempuan bukan laki-laki. Itu pasti. Tapi cukupkah kepastian itu bisa menjamin atau turut memastikankeyakinan para pemikir, aktifis perempuan (feminis), atau kita semua bahwa perbedaan seksual/biorogis tidak berarti harus membeda-bedakan antara keduanya? sebuah pertanyaan yang masih membutuhkan proses panjang untuk menjawabnya. Karena realitas seringkali muncul - dan tidak jarang pula sengajadimunculkan - untuk melakukan politik pembedaan, pe-Lain-an, stereotipe, dan stigma. perempuan yang di satu sisi disanjung sebagai ibu kehidupan dan di sisi lain ditindas oleh laki-laki. Mungkin benar bahwa persoalan yang menggelayut pada perempuan sangat terkait dengan asumsi tentang adanya ketidak seimbangan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Melalui berbagai analisis ketidakseimbangan ini disinyalir bermuara pada kultur patriarki.vang kemudian mengeras menjadi ideologi dan turut melahirkan penyimpangan perilaku berupa diskriminasi perempuon multikultural belahan dunia. Masing-masing menyandarkan pemikirannya pada keyakinan bahwa patriarki - yang kecenderungannya diarahkan pada laki-laki harus diluluh lantakkan. Para elit perempuan berduyun-duyrn menyuarakan kepedulian nya terhadap `nasib` perempuan yang dianggap tidak mengerti hak-hak hidupnya. Wacana pemberdayaan kemudian menjadi pembicaraan rutin dan cenderung universal. Di kedai kopi, kafe, sudut koran, TV, dan kamar tidur perempuan digugah untuk mengerti bahaya patriarki yang ada di sekitarnya. Penyadaran ini seolah-olah menempatkan perempuan - terutama `yang diberdayakan` - sebagai entitas beku, stabil, dan tidak bergerak. Di sinilah kita seringkali menyaksikan aksi dan reaksi yang berlebihan akibat penerapan wacana pemberdayaan yang dilakukan secara kaku dan tunggal. Ruang dimana perempuan itu hidup dalam situasi yang sangat ragam kurang diperhatikan, bahwa perempuan itu pun memiliki struktur internal tersendiri dan pergulatan dalam relasi kuasa dengan posisi-posisi kekuasaan yang berbeda juga sering dikesampingkan. Buku yang disusun dengan sajian beberapa tulisan yang banyak didiskusikan dalam beberapa forum seminar ini bukan hanya memaparkan pengalaman-pengalaman partikular yang dialami oleh beberapa perempuan yang hidup dalam libatan konstruksi kultural yang beragam, melainkan juga pengungkapan tentang adanya perlawanan strategis sebagai siasat untuk meladeni tuntutan kehidupan yang lebih luas. Penguraian secara teoretik dan sistematis terlihat dari tulisan Ahmad Baso, Manneke Budiman, dan Melani Budianta. Mereka membedah problem perempuan post-kolonial, makna simbolik secara ideologis dari multikulturalisme itu sendiri, serta kecanggihan yang melanda kehidupan perempuan seni tradisi baik yang, berasal dari negara maupun agama. Hegemoni yang beraserl tlari ncgara dan agama merupakan dua hal yang patut. a305443 4aWanita Dalam Profesi a034646 a034643 a034644 a034645 a034647