03549 2200241 4500001002100000005001500021035002000036008004100056245007900097100002600176260004100202300002500243020001800268084001400286520292500300082000803225650001903233990001103252990001103263990001103274990001103285990001103296INLIS00000000000100720220328014815 a0010-0621000607220328 0 ind 1 aDasar - Dasar Etika Dan Moralitas ( Pengantar Kajian Etika Profesi Hukum )1 aWiranata, I Gede A.B. aBandung :bCitra Aditya Bakti,c2005 a458 hlm. ;c21,5 cm. a979-414-928-4 a174 WIR d aDASAR-DASAR ETIKA DAN MORALITAS.Akhir-akhir ini banyak terjadi benturan perilaku manusia, baik sebagai pribadi maupun kelompok di masyarakat. pengingkaran atas hak personal seseorang oleh orang lain dan terpolusinya perilaku profesi merupakan sebagian dari permasalahan profesi yang justru dilakukan oleh profesional itu sendiri. Perilaku demikian juga telah merasuki kalangan profesional termasuk pada profesi hukum. Krisis multidimensi yang melanda negeri ini, harus diakui secara jujur adalah suatu perwujudan nyata anak bangsa yang tidak mendengarkan hati nuraninya dalam berbuat di segala bidang. Krisis moral dan akhlak harusnya disikapi dengan cara membangun kembali tatanan nilai dengan berpijak pada konsep kesetaraan etika dan moral dasar. Bagi profesional, seharusnya dalam setiap perbuatan, harus mengedepankan etika dan moralnya sehingga tidak akan muncul pengingkaran atas hak-hak personal. Sebagaimana profesi pada umumnya, profesi hukum tidak saja menyangkut sebuah kepercayaan/amanat seseorang secara individu, tetapi juga akan terkait dengan kepentingan umum (public trust). Karena itu, perlindungan kepentingan pribadi dan kepentingan umum selain diatur oleh perangkat hukum, juga akan terpulang pada atUran-aturan hidup manusia yang tidak tertulis yang berpusat pada hati nuraninya sendiri, yakni kewajiban agama, etika, dan moral. Dengan demikian akan terdapat kesetaraan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Dalam lapangan hukum, berkali-kali muncul kritik terhadap keberadaan pengadilan sebagai lembaga pencari keadilan. Pengadilan adalah benteng terakhir di mana moralitas dan hukum harusnya berfungsi maksimal. Hukum haruslah menjadi panglima. Namun, sangat disayangkan, idealisme penegakan hukum menjadi tercoreng justru oleh aparatnya sendiri. Betapa tidak, perilaku tidak terpuji semakin sering dilakukan antara aparat penegak hukum dan sesama penegak hukum lain. Seorang hakim bersitegang dengan panitera bahkan sampai baku hantam di ruang sidang ataupun pengacara dilempar sepatu oleh kerabat terdakwa karena telah diminta sejumlah uang dengan janji perkaranya akan menang. Terakhir, di lingkungan Mahkamah Agung sendiri terjadi kolusi yang akhirnya oleh pers dan masyarakat kemudian ditengarai telah terjadi mafia di dunia hukum dan peradilan.Masyarakat awam telanjur memberi label bahwa pengadilan adalah alat kekuasaan hukum semata dan tidak lebih dari corong undang-undang tanpa memberi penegasan makna. Dalil-dalil pembuktian didasarkan hanya atas dasar fakta hukum, tidak berdasar logika dan filsafat moral. Padahal, secara teori dapat diasumsikan bahwa dalam rangka perumusan hukum harus disandarkan pada asumsi nilai moralitas dan prinsip- prinsip humanis. Hal ini semakin memperkuat dugaan mengapa sangat jarang putusan hakim kini, meski telah memiliki kekuatan hukum tetap, akan dijadikan pertimbangan dalam memutus sebuah perkara sejenis yang muncul di kemudian hari. a174 4aEtika. Profesi a035659 a035657 a035658 a035660 a035661